Selasa, 14 Januari 2014

TIPOLOGI CALON ANGGOTA LEGISLATIF

Oleh Mudjahirin Thohir
1
Ada empat tipologi calon legislatif (caleg) yang sekarang sedang berkompetisi untuk memperebutkan kursi DPR(D). Pertama, kategori yang tidak tahu kalau dirinya sebetulnya tidak tahu tetapi ingin memasuki dunia yang tidak diketahuinya itu. Kedua, kategori yang tahu kalau dirinya tidak tahu tetapi mencoba memasuki dunia itu. Ketiga,  kategori yang tahu kalau dirinya tahu dunia yang mau dimasuki tetapi nawaitu-nya lebih diorientasikan kepada kepentingan diri dan kelompoknya. Dan keempat,  kategori yang tahu kalau dirinya tahu dunia yang mau dimasuki dan karena itu mereka ingin mengabdikan pengetahuannya itu untuk kebaikan Indonesia ke depan.
Kategori pertama dan kedua, bisa terjadi karena peluang untuk menjadi caleg memang relatif mudah. Kemudahan ini disumbang oleh bermunculan partai politik (parpol) dalam jumlah yang besar. Kemudahan untuk menjadi caleg, bisa juga sebagai strategi parpol sendiri. Mengapa? Karena sekecil apapun suara yang diperoleh para caleg, secara akumulatif akan  menambah bilangan suara parpol yang bersangkutan.
Ketika ditawari untuk mengadu keberuntungan dengan mendaftar atau didaftar sebagai caleg, mereka tergugah. Nalarnya, kesiapan menjadi caleg merupakan tangga untuk mobilitas vertikal. Semangat untuk mewujudkan harapan demikian, semakin besar  seiring dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan lolos tidaknya caleg, tidak dari nomer urut tetapi dari ukuran jumlah suara yang diperoleh. Seperti “gayung bersambut”, mereka lantas meneguhkan diri memasuki dunia parlementaria, kendati  bermodal filosofi air.  “Air” di sini bukan dilihat pada fungsinya yaitu meneduhkan, melainkan pada sifatnya yang “ikut” mengalir ke mana saja. Bukankah ada ungkapan, iso jalaran soko kulino (bisa karena sudah biasa)?
Kategori ketiga dan keempat, kapabilitasnya mencukupi. Bedanya hanya pada soal orientasi. Karena orientasinya berbeda, maka perilaku dan produk yang akan dihasilkan, juga tidak sama. Kategori ketiga adalah mereka yang relatif paham dunia perlementaria dan dunia politik secara umum. Hanya saja mereka tidak tulus, sebab yang ada dalam angannya, lebih kepada keuntungan kekuasaan, kewenangan atas status, dan perannya itu.  Filosofinya, tidak bergeser jauh dari UUD (ujung-ujungnya duit).
Kategori keempat,  merupakan tipologi ideal sebagai anggota dewan. Mereka, tidak saja jujur dan tidak punya niatan korupsi atau menyalah-gunakan amanah, tetapi juga terampil menjalankan tugas legislasi.
2
Jika dihitung secara matematis atau dibagi berdasarkan bilangan empat, maka jumlah yang masuk pada kategori keempat  adalah jauh lebih kecil.  Kalau dibagi rata, kategori keempat hanya 25%-nya. Itupun kalau “menthes” semua. Sedang kategori pertama, kedua, dan ketiga, sama sekali jauh dari yang diidealkan. Menurut ungkapan santri, wujuduhum ka’adamihim (adanya, seperti tiadanya). Ungkapan itu mengisyaratkan bahwa menjadi orang baik (baca: anggota dewan yang baik) tidak cukup hanya karena jujur dan tidak korupsi, tetapi juga terampil dalam menjalankan peran sesuai tugas dan kewajiban yang diembannya. Terampil berarti adanya penyatuan antara ilmu, iman, dan tindakan.
3
Ada kesan bahwa keempat tipologi  seperti di atas,  sudah ada pada DPR(D) sebelum-sebelumnya. Pada pemilu kali ini, diprediksi juga masih tetap ada. Itu pula sebabnya, jika kemudian sebagian rakyat bersikap apatis. Memilih untuk tidak memilih, alias golput, menjadi beralasan.
Munculnya golput,  bisa karena berbagai  alasan yang berbeda atau bertumpang-tindih. Pertama, mereka yang memiliki hak pilih, tetapi tidak menggunakan hak pilihnya. Atau, mereka menggunakan hak pilihnya tetapi salah atau keliru di dalam mencontreng karena kekurangtahuan, sehingga suaranya dinyatakan “tidak sah”. Untuk yang pertama,  bisa datang dari mereka yang “hidupnya sudah mapan” dan tidak memiliki hasrat pada dunia kekuasaan. Kelompok mapan ini berdalih bahwa hasil apapun dan siapapun yang jadi, tidak akan mengusik kemapanannya. Tetapi bisa juga datang dari kelompok masyarakat marginal seperti kaum miskin yang sudah pasrah terhadap keadaan politik di negeri ini. Mengapa? Sebab, siapapun yang jadi, tidak akan mengubah nasibnya. Karena itu, daripada “membuang waktu ikut antri” tidak dibayar, lebih baik dimanfaatkan untuk bekerja yang menghasilkan.  Di luar itu, adalah mereka yang mestinya punya hak pilih tetapi tidak terdaftar.
Alasan kedua, menurut Gus Dur, karena demokratisasi dalam sistem politik di Indonesia, tidak berjalan. Dengan anggapan seperti itu, mereka lantas memboikot untuk golput. Apa yang dikatakan Gus Dur bisa saja terkait dengan kasus pihaknya yang “dikalahkan”. Jumlah mereka yang golput pada pemilu 2009 ini, menurut prediksi Gus Dur, menembus angka 70%.  Angka ini mungkin berlebihan. Tetapi wajar kalau dibaca, 70% dari mereka yang berada dalam lingkaran atau yang sangat loyal kepada Gus Dur sendiri. Sementara para pengamat lain, memperkirakan jumlah golput berkisar 30-40%. Besaran jumlah golput ini, kata Teguh Yuwono, pengamat politik Undip, “berbanding lurus dengan harapan public terhadap pemilu itu sendiri. Jika public yakin bahwa pemilu mampu menciptakan perubahan, maka jumlah golput akan rendah. Begitu pula sebaliknya”.
Benarkah begitu? Untuk beberapa hal, tidak benar. Mengapa? Pertama, secara umum,  rakyat masih menganggap bahwa menggunakan hak pilih (baca: 9 April 2009) adalah kewajiban moral sebagai warga negara.  Kedua, para pemilih pemula biasanya ingin merasakan pengalaman langsung menggunakan hak pilihnya. Jadi, yang pesimis karena memprediksi banyaknya jumlah golput maupun yang optimis bahwa jumlah golput relative kecil, sama-sama memiliki argumentasi yang bisa dipahami.
4
Terlepas dari hal itu, pemilu legislatif kali ini mengundang daya tarik dari dua sisi. Dari sisi para pemilih, dan dari sisi strategi caleg untuk dapat meloloskan diri.
Dari sisi pemilih, sudah terjadi sikap cair. Artinya, fanatisme kepartaian  dan aliran, tidak menonjol lagi. Dalam batas-batas tertentu, hal ini bernilai positif, yakni sudah tidak terdengar berita konflik antar pendukung lintas partai, sebagaimana pemilu tahun 1999. Penyebabnya, bisa karena tiga hal. Pertama, parpol itu sendiri cenderung mengubah platformnya menjadi parpol yang terbuka. Kedua, sebagai eksesnya, banyak kader yang bisa berpindah-pindah parpol hanya dengan pertimbangan mencari peluang yang memungkinkan. Dan ketiga, ekses dari tokoh yang dahulu dibela mati-matian, tetapi perilaku dan hasil kinerjanya, tidak memuaskan para pendukungnya. Kondisi demikian, dilihat dari sisi caleg sendiri, pemilu 2009 ini, menjadi “medan terbuka”.  Tidak ada lagi enclave (kantong-kantong pendukung partai tertentu). Ini artinya, para caleg bisa masuk  ke wilayah masyarakat mana saja. Meski begitu, umumnya caleg lebih memilih masyarakat awam dan masyarakat pedesaan sebagai sasaran mendaur suara. Bukan kelompok intelektual maupun kelmpok kritis. Alasannya jelas, suara seorang aktivis LSM dengan seorang abang becak adalah sama? Jadi, daripada berdebat kepada mereka belum tentu menang, lebih baik membujuk orang awam sembari membagi kaos, sembako, dan janji-janji lain yang menggiurkan.  ***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar