Senin, 27 Januari 2014

Pemilih Cerdas Pilih Caleg Cerdas

Tanggal 9 April 2014 saatnya pesta demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia….katanya. Namun tidak semua warga Indonesia yang sudah berhak memilih menggunakan hak pilihnya. Mengapa demikian? pasti sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas pemilih yang cerdas menggunakan hak pilih untuk tidak memilih dengan alasan tidak ada caleg yang pas di hati.
Kalau kita berpikir dengan jernih, menggunakan hati yang bersih maka banyak kita temukan Dewan yang seharusnya mewakili rakyat hanya mewakili dirinya dan partai politiknya.
Kalau kita melihat kenyataan yang ada di masyarakat untuk saat ini perlu kita cermati bahwa 1.  sudah ada caleg yang mencuri start. Apakah pantas kalau kita memiliki legislatif yang hobinya mencuri? 2. Caleg yang tidak memiliki wawasan lingkungan yang baik. Buktinya dengan di beberapa pohon di sepanjang jalan tumbuh buah yang bernama spanduk dan umbul-umbul. Mestinya para caleg tersebut memberikan contoh kepada calon pemilih bagaimana sebaiknya mencintai lingkungan bukan malah sebaliknya.3. Legislatif yang hanya bisa memprovokasi terhadap suatu permasalahan  bukan membantu mencari solusi, contoh kalau di tayangan televisi dalam acara talkshow. Saling adu argumen, saling menjatuhkan antara peserta satu dengan yang lainnya sudah menjadi tontonan yang biasa. 4. Banyak dermawan baru khususnya di daerah yang tertimpa bencana. Bukan sumbangan yang tulus yang diberikan tetapi dengan maksud lain alias ada udang di balik batu. Maka perlu diperhatikan kalau seandainya tetangga kita caleg apakah dalam kehidupan sehari-hari juga sudah bergaul dengan masyarakat sekitar bukan saat sosialisasi saja. Yang terakhir adalah apakah caleg pilihan kita religius karena segala perkataan dan perbuatannya nanti dia sanggup mempertanggungjawabkannya kepada yang “diatas” walaupun kenyataannya biang koruptor yang ada di legislatif saat ini juga beragama.
Nah, sekarang keputusan ada di tangan kita masing-masing, apakah caleg yang kita pilih cerdas atau sebaliknya. Waktu menentukan dimulai dari sekarang….

Apa manfaat Website bagi Caleg

Salah satu manfaat memiliki website bagi seorang Caleg adalah sebagai media personal branding yang ampuh, Di website yang telah Anda buat Anda dapat mengenalkan diri Anda secara lebih leluasa agar lebih di kenal oleh berbagai kalangan terutama kalangan pengguna internet indonesia.
Selain website sebagai media personal branding bagi Caleg, pembuatan website bagi Caleg juga akan bermanfaat sebagai transparansi dan keterbukaan publik Antara aksi dan berbagai hal yang telah caleg tersebut lakukan untuk penghimpunan suara . Anda dapat membuat sebuah artikel, memposting vide0, dan juga memberikan opini pribadi yang tentu maksud dan tujuannya untuk menggiring suara dari berbagai kalangan.
Saat ini telah hadir WP-Caleg sebuah template WordPress yang terkenal akan kemampuan SEO-nya untuk para caleg di Pemilihan Umum 2014

Apa manfaat Website Caleg dengan template wp-caleg

Berikut ini adalah rincian manfaat yang akan anda peroleh jika anda memiliki Website Caleg dengan template wp-caleg :
  1. Media promosi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, Efektif dan Efisien bagi promosi pencitraan diri juga program serta visi dan misi anda
  2. Dapat memuat informasi dalam bentuk tulisan, foto, table, grafik, suara dan video.
  3. Dapat mengumpulkan dana melalui sistem donasi wp-caleg
  4. Konstituen bisa mengetahui secara langsung program dan kegiatan caleg
  5. Ide dan pemikiran caleg dapat dikomunikasikan secara langsung kepada konstituen dan bisa mendapatkan masukan langsung
  6. Foto dan dokumentasi kegiatan caleg dapat selalu dilihat oleh konstituen
  7. Dapat menjadi media yang bisa mengcounter berita-berita negative tentang caleg yang bersangkutan.
  8. Dapat menginformasikan jadwal dan lokasi kampanye anda
  9. Informasi selalu terbaru karena berita bisa selalu di update
  10. Dapat menjadi media survey tingkat popularitas caleg atau program

Kiat Sederhana Memilih Caleg pada Pemilu 2014

13904741671029520510
Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)
Tulisan ini mencoba memberikan edukasi kepada para pemilih dalam menentukan pilihan menjelang Pemilu di tahun 2014 ini. Dan tidak bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak terutama para caleg yang akan berlaga. Sebagai warga negara yang baik untuk massa depan bangsa adalah wajib menentukan nasib bangsa kedepan melalui pilihan yang tepat.
Tahun 2014 ini merupakan pesta demokrasi dimana bangsa Indonesia akan memilih wakil-wakilnya. Setidaknya dua momen pesta demokrasi yang akan berlangsung, yakni Pemilu legislative dan Pemilu Presiden. Sehingga ada yang bilang bahwa tahun 2014 ini adalah tahun politik. Dan yang waktu dekat ini sedang akan berlangsung adalah Pemilu legislative, dilaksanakan pada 9 April 2014.
Pemilu legislative menjadi sangat penting, hal ini karena untuk memilih wakil kita yang duduk  di parlemen guna memperjuangkan aspirasi masyarakat. Setidaknya masyarakat harus cerdas dalam memilih wakilnya, jika ingin aspirasinya terwujud. Jika salah pilih, maka otomatis 5 tahun mendatang baru bisa “menggusur” mereka jadi wakil kita. Oleh sebab itu berhati-hatilah dalam memilih, mencerna setiap potensi figure adalah sangat bijak dilakukan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan masa kampanye Pemilu 2014 mulai 11 Januari 2014 hingga 5 April 2014. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 21 tahun 2013 tentang tahapan pemilihan umum (Pemilu) 2014.
Itu artinya perhelatan  pesta demokrasi sudah dimulai. Para caleg pun mulai bergerilya masuk kampung untuk menjual “kecap” dirinya. Berbagai acara seremonial pun dilakukan sebagai upaya untuk menarik simpati massa. Dan tentu saja banyak trik lainnya guna mendekatkan diri kepada simpatisan pemilih.
Begitu banyaknya para caleg yang hadir dan menawarkan program merupakan sebuah gaya yang tentu saja membingungkan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Biar tidak bingung dalam menentukan pilihan seperti apa sekiranya calon wakil kita yang mesti di pilih dalam Pemilu 9 april 2014 mendatang. Berikut kiat sederhananya :
1. Cari informasi data caleg dan rekam jejaknya
Ini penting kita sebagai pemilih mengetahui sedetail mungkin tentang pribadi caleg tersebut sebanyak-banyaknya dimassa-massa lalunya apakah pernah terlibat criminal atau tindakan yang merugikan masyarakat banyak.
Pendidikannya seperti apa? Apakah gelar akademisnya didapat secara instan dengan membeli? Ataukah dimassa lalunya figure tersebut adalah seorang preman? Penting juga mengecek apakah sang caleg tersebut rukun sama tetangganya caranya adalah dengan bertanya sama warga di lingkungannya apakah pernah ikut terlibat gotong royong atau tidak?
2. Peran dan prestasi kerjanya dimasyarakat
Menjadi seorang figure wakil rakyat adalah penyambung lidah rakyat. Jadi penting sejauh mana peran figure seorang caleg di lingkungan masyarakatnya. Apakah termasuk orang yang super cuek dan sukar untuk berbuat sosial? Atau bagaimana kehidupan berorganisasinya di lingkungan tempat tinggalnya atau dimassa menempuh pendidikan terdahulu? Apakah sebagai penggembira saja atau sebagai pelaku utama.
3. Partai politik pengusung turut menentukan
Lihat juga seperti apa partai pengusung sang caleg. Apakah partai “kacangan” atau partai yang timbul tenggelam bagaikan hidup segan mati tak mau. Atau partai yang baru muncul kemarin sore yang belum teruji? Ini penting karena partai yang kuat akan memudahkan posisi tawar di bangku parlemen dalam menentukan keputusan yang pro rakyat.
4. Kemampuan dan visi yang kelak di embannya
Menjadi penting di perhatikan oleh pemilih bagaimana kemampuan sang caleg dalam memanajemen potensi, prestasi, visi misi dan program nya kelak. Selain itu yang lebih penting untuk di perhatikan juga adalah bagaimana dengan kecerdasannya, agama dan moralnya, pengendalian emosi, kematangan berpikir, kreativitas, inovatif, integritas pribadi dan kemapanan kehidupan ekonomi.
5. Jangan terjebak karena ketampanan dan kecantikkannya
Ini adalah klise dan sering kali dijadikan topeng. Maka pemilih jangan mudah terjebak karena fisik seseorang yang cantik dan tampan. Melainkan harus berkolaborasi juga dengan intelektualnya.
6. Tidak usah terjebak karena pemberian uang 50 –ribuan
Karena jika ia memberikan uang maka setelah jadi nanti akan lupa terhadap masyarakatnya. Lebih banyak mengurus proyek untuk mengembalikan modal kampanye ketimbang memperhatikan aspirasi rakyat.
7. Jangan memilih caleg yang “mengemis” untuk meminta agar masyarakat harus memilih dirinya.
Biasanya orang yang meminta jabatan adalah orang yang tidak berniat baik dalam bekerja dan tentu saja tidak ikhlas. Jadi jangan terjebak dengan rayuan caleg yang mengemis-ngemis.
8. Pro lingkungan dan adat serta tradisi
Harap juga di perhatikan bagaimana sang caleg dalam kiprahnya nanti sebagai wakil rakyat apakah peduli terhadap kelestarian lingkungan. Dan pemeliharaan keberadaan adat istiadat.
Atau malah akan menjadi perusak lingkungan hidup? Kita sebagai pemilih berhak bertanya  kepada caleg, sejauh mana upaya dia dalam mendukung gerakan pro lingkungan dan adat. Atau jangan-jangan bekerja sama dengan para korporasi yang merampas hutan-hutan adat dan hutan rakyat untuk modal kampanye.
9. Kemampuan berdiplomasi dan memfasilitasi terhadap berbagai persoalan masyarakat dan mau turun jika  ada persoalan yang terjadi.
10. Istrinya ramah terhadap siapa pun terhadap tamu suaminya.
Kedengarannya sepele saja namun seringkali berdampak citra negative buruk bagi sang figure. Lihat ketika ada sang tamu yang datang kerumahnya bagaima mimic dan sikap sang istrinya, apakah rama terhadap siapapun atau menunjukkan hal sebaliknya.
Apakah mau menghidangkan minuman atau malahan pergi begitu saja. Karena ingat kesuksesan sang suami kalau tidak didukung sang istri maka akan sia-sia saja. Jika ada caleg yang tidak akur sama keluarganya (broken home) jangan dipilih, bagaimana mau mengatur orang banyak sedangkan di keluarganya sendiri saja tidak bisa mengatur.
11. Jangan pilih caleg yang seringkali mengobral rasisme kesukuan dan agama. Semestinya program yang dia jual bukannya membuat sekat pemisah.
12. Jangan pilih caleg yang susah di temui yang seringkali memasang kamera pengintai terhadap tamu-tamunya yang datang. Dan mengganggap orang yang datang adalah minta duit.
Setidaknya itulah beberapa gambaran sederhana dalam menentukan pilihan pada 9 April 2014 mendatang. Tentu saja masih banyak criteria lainnya yang belum bisa terangkum disini. Dan kita sebagai pemilih harus cerdas dalam menentukan pilihan. Ingat pilihan kita adalah menentukan massa depan daerah dan bangsa kita. Selamat merenungkan dalam menentukan pilihan!

Megawati: Perjuanganku Belum Selesai

 
“Megawati Soekarnoputri adalah sang penentu. Sejak memutuskan terjun ke politik, berbagai intrik politik tak surut menghampiri. Tapi ia terbukti tangguh. Tak pernah sekali pun surut langkah. Beliau memegang kendali atas semua keputusan PDI Perjuangan. Baik dalam konstelasi politik maupun strategi internal partai.” Demikian penggalan sinopsis “Apa Kata Mega” di laman Mata Najwa.

Megawati Soekarnoputri menjadi tamu spesial dalam program Mata Najwa di Metro TV yang ditayangkan pada  22 Januari 2014. Selama 90 menit Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut menjawab berbagai pertanyaan. (Untuk melihat tayangan "Apa Kata Mega" silahkan lihat di sini)

Megawati menjelaskan awal mula terjun ke dunia politik. Menurut  putri proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, keluarga besar Bung Karno tidak pernah menyatakan tidak akan masuk ke dunia politik. “Kalau bapak saya masih hidup, pada waktu itu pasti bilangnya masuk kamu,” ujar beliau.

Perjalanan politik Megawati penuh intrik dan intimidasi. Rezim Orde Baru dengan berbagai cara berupaya menghadang, bahkan menggusur Mega, di antaranya menyerang kantor DPP PDI di Jl Diponegoro 58, Jakarta Pusat, pada 27 Juli 1996. Menanggapi peristiwa yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli 1996 itu, Megawati mengatakan heran bagaimana mungkin di negara yang merdeka seperti Indonesia, aparat TNI dan Polri diterjunkan untuk menyerang sebuah kantor partai politik.

Mega mengatakan Peristiwa 27 Juli 1996 sebenarnya dapat terselesaikan, “Kalau memang itu dianggap sebuah “pemberontakan” ya tangkap saja saya. Dan saya kan sudah pernah dibawa ke polisi, ke Komdak (Komando Daerah Angkatan Kepolisian), ke Gedung Bundar Kejaksaan.”

Saat diperiksa di Gedung Bundar, jelas Megawati, dirinya dituduh tengah membuat konspirasi besar dengan Gus Dur. “Mungkin pernah kenal di kalangan politik ini ada Naga Hijau dan Naga Merah,” ujar beliau kepada Najwa Latif, pembawa acara mata Najwa. Naga Hijau dan Naga Merah dikatakan akan menumbangkan rezim Suharto.

Megawati dinilai sebagai Naga Merah, sementara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dianggap Naga Hijau. “Saya pikir wow keren sekali saya dianggap Naga Merah,” kata beliau menceritakan pengalamannya ketika berhadapan dengan kekuasaan rezim Orde Baru.

"Saya bilang ke Gus Dur ‘Mas, sudah pernah dengar belum Naga Merah dan Naga Hijau? Sampeyan itu yang Naga Hijau lho’. Beliau ya cuma ketawa-ketawa 'sejak kapan di Indonesia ada Naga?’,” ujar Mega mengenang pembicarannya dengan Alm. Gus Dur.

Megawati terbukti tangguh. Beliau berhasil menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden di Indonesia. “Menjadi Presiden itu mudah, tapi menjadi pemimpin itu sulit,” tegas Megawati.

Penyuka tanaman dan buku ini terus menata dan sibuk “merawat” kader-kader partainya. Tokoh politik yang berpengalaman lebih dari 20 tahun memimpin PDI Perjuangan membuktikan diri mampu melahirkan pemimpin-pemimpin muda potensial.  Banyak menghasilkan politisi, dan kepala daerah yang diacungi jempol warganya.

”Saya hanya memberi jalan, mengajarkan, memberi ruang, tetapi saya katakan, hasilnya ada pada kalian sendiri. Mau jatuh, mau naik, itu semua ada pada kalian. Itu semua yang harus diberikan anak-anak muda kita,” kata Mega beberapa waktu lalu.

Tiga Permintaan
Kamis, 16 Januari 2012, keluarga besar Sukarno, sejumlah tokoh nasional, pimpinan partai politik, gubernur, wakil gubernur, walikota, wakil walikota, bupati, wakil bupati, anggota MPR/DPR, akademisi, pengurus DPP PDI Perjuangan, hingga wartawan berkumpul Hotel Sahid, Jakarta. Malam itu, Yayasan Kusuma Pertiwi meluncurkan buku berjudul Megawati, Anak Putra Sang Fajar. Buku ini berisi 50 komentar tokoh dari dari berbagai profesi tentang sosok Megawati, dan hasil wawancara dengan Megawati, yang selama ini dikerjakan Yanti Sukamdhani timnya. August Parengkuan, wartawan senior Harian Kompas, dipercayai menyunting buku ini.

Dalam kesempatan itu Megawati didaulat naik panggung guna menyampaikan kata sambutan atas peluncuran bukunya, Ketua Umum PDI Perjuangan ini mengatakan, memiliki tiga permintaan jika dirinya bisa berdialog dengan Tuhan.

Permintaan pertama, Megawati ingin tetap menjadi perempuan. Alasannya, di Indonesia secara tradisional, budaya, maupun sosial, perempuan masih tertindas. “Nasib kaum perempuan harus diperjuangkan, agar mereka tidak diperlakukan diskriminatif dan memiliki kesetaraan dengan kaum lelaki,” ungkap Mega, yang saat menjabat presiden berhasil mengeluarkan undang-undang responsif gender, yakni Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Permintaan kedua, ia ingin tetap menjadi Megawati Soekarnoputri. Mega mengaku bangga kepada Bung Karno sebagai founding father, sebagai proklamator yang telah memperjuangkan nasionalisme, Indonesia bermartabat, Indonesia berdikari agar setara dengan negara lain.

Permintaan ketiga, Megawati ingin melanjutkan perjuangan untuk nusa dan bangsa ini. ”Saya ingin meneruskan perjuanganku karena belum selesai” pungkas Mega.

Kamis, 23 Januari 2014

Angkringan sebagai budaya tanding




















Angkringan adalah sebutan populer warung khas Jogja. Hampir serupa, kalau di daerah Solo dan Klaten disebutnya warung HIK yang konon plesetan dari hidangan istimewa ala kampung. Angkringan selalu memiliki ciri khas. Pertama, sajian makannanya di atas gerobak dorong beratap terpal plastik. Di sekelilingnya terdapat bangku kayu berukuran tinggi untuk menyesuaikan duduk pembeli dengan meja gerobak tempat makan.
Berikutnya, di bagian kanan meja terdapat tungku pembakaran. Biasanya terdapat dua atau tiga lubang dengan arang terbakar di bawahnya. Selain untuk memanasi air, fungsinya juga bisa untuk memenuhi keinginan pembeli apabila ingin membakar sate usus, ceker dan, jahe bakar lain sebagainya.
Citi ketiga yang paling khas adalah sajian nasi berbungkus kecil seukuran kepalan tangan anak kecil. Umumnya berlauk teri. Tapi banyak juga berlauk tempe atau pindang.  Itulah yang disebut sego kucing. Dalam tradisi guyon, disebut sego kucing  karena ukuran berikut lauknya lebih cocok untuk kucing. Tentu kita merasa aneh pula pada awalnya mendapati nasi berukuran kecil itu.
Nah, untuk memeriahkan lidah saat menyantap sego kucing di angkringan selalu tersedia aneka lauk. Letaknya tersaji persis di depan mata, berjejer dalam nampan dan tentunya siap disaut untuk disantap. Aneka lauk seperti telur puyuh, tempe bacem, ceker ayam, dan aneka sate seperti usus, ati ampela dan lain sebagainya.
Paket minuman yang disediakan pun khas. Biasanya teh, wedang jeruk, lemon tea (perpaduan teh dan jeruk), wedang jahe, kopi, kopi jahe. Kalaupun ada minuman tambahan biasanya yang bersifat instant. Gelas yang digunakan umumnya berukuran besar dan pilihannya hanya itu. Jarang dijumpai menggunakan cangkir atau gelas kecil.
Di malam hari, warung angkringan biasanya menggunakan lampu ublik. Lampu berbahan bakar minyak tanah ini menyuguhkan cahaya temaram dan justru inilah yang memberi kesan syahdu dan hangat. Karena hanya tersedia dua –tiga banguku duduk, posisi pembeli hampir selalu berdempetan ketika ramai. Sambil mengelilingi aneka lauk, pengunjung seperti berkompetisi untuk mengambil menu yang disuka.
Selain harganya yang relatif murah, suasana seperti itulah yang disukai pembeli.Ada percakapan hangat antara satu pembeli dengan lainnya. Bahkan seperti tak sekat, karena di warung angkringan tidak ada istilah satu pembeli satu bangku atau satu kursi. Semunya berhimpitan dan berdesakan dengan harmoninya. Tanda ungkapan persamaan nasib yang diistilahkan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.
Angkringan adalah memang warung tradisional biasa. Tetapi “ngangkring” adalah budaya karena melibatkan banyak individu dalam waktu lama dalam ikataan perilaku yang relatif sama. Tentang duduknya, tentang minat terhadap makanannya, suasana ataupun kejiawannya. Tak hanya untuk urusan perut (biologis), “ngankring” menjadi media pertemuan sosial.
Tak jarang, bagi mereka yang sering ke warung angkringan, ditanya temannya sudah “ngangkring” atau belum. Istilah “ngangkring” telah menjadi suku kata interaksi sosial. Karena sifatnya untuk bertemu darat, “ngangkring” akan menandakan karakter seseorang. Bagi mereka yang individualis, kuper (kurang pergaulan) atau tidak suka berinteraksi sosial, tentu sulit untuk mengikuti budaya angkring.
Nah, “ngangkring” inilah yang saya sebut budaya tanding. Ditengah menjamurnya warung modern khususnya franchise restoran asing, yang tentu membawa karakter asing, ternyata warung angkringan menjadi lawan yang tak kalah hebatnya. Sebab, lebih menyuguhkan karakter asli orang indonesia.
Interaksi, gaya, sikap dan keluwesan di warung angkringan tentu tidak didapat di restoran asing. Meski pembeli sama-sama duduk di satu tempat, dan berulang-ulang sehingga sudah saling kenal tentu tak akan muncul pertanyaan sudah MacD belum, sudah PizaaHut belum, sudah CFC belum dan lain sebagainya.
Angkringan telah membentuk budaya solider pembelinya. Nah, bisa dibudayakan lebih massif bukan tidak mungkin efektif untuk mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi ditengah masyarakat sebagai akibat menjamurnya budaya individualis di negeri ini. Kita juga bisa membayangkan, jika pemimpin negeri ini solider, memimiliki persamaan nasib dengan rakyatnya, tentu akan memudahkan mereka membangun bangsa tanpa korupsi.
Angkringan adalah lokus pengembangan budaya yang menunggulkan kebersamaan. Sebab, dengan interaksi “ngangkring” setiap kita akan mengerti betapa pentingya orang lain. Disitulah pula kita belajar perlunya harmonis, keberagaman, perbedaan, dan penghargaan untuk kehidupan sosial yang tertata.

Saat ini warung angkringan telah bertebaran di berbagai Kota. Tak hanya Jogja, Solo dan sekitarnya kini dapat dijumpai di Surabaya, Bandung, Bekasi dan kota lain dalam jumlah yang terus bertambah. Tetapi, ini bukan semata-mata persoalan warungnya, lebih kepada budaya "angkring" yang secara positif bisa menguatkan kerekatan sosial.

Senin, 20 Januari 2014

Konstituen Dijadikan Kawan

Jakarta (Lampost.co): Pertemuan dengan konstituen, itulah yang diucapkan Masinton Pasaribu, calon legislatif DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) saat ditanya Media Indonesia tentang gaya pendekatan dirinya kepada konstituen. Pria dari daerah pemilihan DKI Jakarta II dengan nomor urut 3 ini mengaku tidak hanya sekali mengunjungi konstituennya yang tersebar di wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri.

Ibarat pertemanan, kata dia, perlu adanya jalinan komunikasi yang intens hingga tumbuh rasa saling percaya antara calon wakil rakyat dengan konstituennya. Tak hanya itu, ia juga menilai turun ke bawah temui konstituen adalah cara terbaik melawan incumbent.

"Saya datang, memperkenalkan diri, menyampaikan ide dan gagasan. Saya mau membangun harapan bersama, ingin mengajak mereka berjuang. Saya datang dan berbuat begini bukan karena nyaleg lalu ngomong politik," tukas Masinton yang juga memegang jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi) Sayap PDI-P 2011-2016, Jakarta, Sabtu (11/1).

Aktivitas menemui warga diakuinya bukan suatu hal yang baru. Rumah Aspirasi yang menjadi Sekretariat REPDEM di kawasan Cikini, sambung Mashinton, juga sering menjadi tempat pengaduan warga yang ingin berkeluh kesah mengenai hal apapun termasuk ketika nanti dirinya sudah sah menjadi anggota DPR RI. Ditambah, kata dia, ada instruksi partainya kepada tiap kader baik itu yang berada di legislatif maupun pengurus untuk selalu berada di tengah masyarakat.

"Begini, masyarakat itu sebenarnya sederhana saja. Intinya (pemimpin) jangan melupakan rakyat. Sebab, mereka berangkat dari pengalaman sebelumnya karena diperlakukan begitu terus. Ditinggalkan, sehingga mereka cenderung tidak percaya lagi," tegasnya

Pria yang sempat menjadi juru bicara kampanye PDI-P ini tak jarang pula mendapat keluhan-keluhan yang spesifik dari warga konstituennya di masing-masing wilayah. Misalnya, soal sengekta tanah. Pihaknya kerap kali menegaskan kepada konstituennya bahwa ia adalah legislator, bukan eksekutor.

"Caleg itu harus bekerja untuk masyarakat, mengawal dan membuat undang-undang. Kita jelaskan bahwa kita ini legislator, bukan eksekutor. Kalau ada legislatif bilang bisa menyelesaikan semua permasalahan masyarkat itu sudah pasti bohong. Legislator itu penghubung masyarakat dengan negara. Eksekutornya tetap pemerintah," terang pria yang menginginkan duduk di Komisi IX DPR RI itu.

Hanya dengan ditemani seorang sekretariat REPDEM, siang itu, Masionton berkunjung ke Tanah Tinggi IV, Kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Sebuah spanduk bertuliskan namanya di dekat pinggiran kali disulap sedemikian rupa menjadi Taman Aspirasi bentukannya. Tampak sudah akrab, pihaknya menyapa warga yang ditemuinya satu per satu kemudian memanggil seluruh pengurus RT dan RW setempat.

"Sebentar lagi kan Pemilu Legislatif, kalian ingin caleg yang seperti apa? Ibarat makanan, kita ingin menunya yang kayak apa? Pedas kah atau manis?" tanya Masinton kepada para pengurus RT 1 s/d 16 dan petugas RW 14.

Es teh manis dan kopi panas ikut menemani obrolan mereka di bawah pohon rindang yang menutupi sinaran matahari siang itu. Pada kesempatan tersebut, ia pun memperkenalkan diri dengan gaya yang santai serta menyempatkan diri menjelaskan pentingnya berpartisipasi dalam Pemilu 2014.

Salah satu warga setempat yang juga menjadi Ketua RT 04, Juanda, mengaku pihaknya menginginkan sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat. Sebab, ia menilai banyak anggota DPR yang tak lagi memperdulikan rakyat setelah duduk di kursi parlemen. Meski sering dikecewakan, ia mengaku masih membutuhkan wakil rakyat yang mau mendengarkan aspirasinya. Oleh sebab itu, ia memastikan akan mempergunakan suaranya di Pemilu 2014.

"Kita ingin yang dekat dengan rakyat. Masyarakat disini tidak banyak yang Golput. Karena kita merasa butuh wakil rakyat," paparnya.

Pembicaraan mereka tampak mulai mencair, ketika salah satu diantara mereka mengeluarkan celetukan, "NgoPi bareng Masionton, Ngobrol Pilihan," seloroh pria mengenakan kemeja warna hijau dan coklat bergaris diikuti gelak tawa pengurus RT/RW lainnya.

Sembari tertawa, Mashion menanggapi, "Begini nih kalau ngobrol dengan warga, ketemu aja idenya." Pernyataan ini langsung ditimpali oleh seseorang lainnya yang menggunakan kaos warna merah,"Asal jangan NgomPol, Ngomong Politik," sautnya. (*)

Sumber : MI
Editor : Sulaiman

Peta Jalan Kebangkitan Indonesia

Pada langkah selama dasawarsa pertama kita memasuki gerbang abad ke 21 ini (saat kita semua menjelang peringatan 100 Tahun Keangkitan Nasional), setidaknya seseorang berdiri dengan cemas. Tentu saja dia tidak hanya cemas, karena bagaimanapun dia juga sesekali bersuka cita karena ada saat-saat di mana janji emajuan dan kesejahteraan rakyat terus menerus diupayakan. Dan seseorang itu adalah bisa saya dan juga bisa anda.
Saya akan mulai dengan mengajukan alasan mengapa saya (dan saya harap pembaca semua) perlu cemas.
Setelah sebelumnya kita menjelang memasuki gerbang Abad ke 21 (yaitu satu dasawarsa yang lampau) kita sudah berbenah melucuti debu-debu otoritarianisme Orde Baru dengan cara melakukan demokratisasi, hari ini kita dihadapkan pada pertanyaan: apa setelah demokrasi?
Kita Pernah Memimpin
Kita diberitahu oleh sejarah jatuh bangunnya bangsa-bangsa di Abad ke 20 bahwa dalam tiap-tiap perjalanan bangsa, mereka senantiasa dihadapkan pada momentum-momentum pencapaian. Setidaknya kita sudah melewati itu semua dengan selamat hingga hari ini, meskipun itu dengan penuh luka, air mata dan kemartiran banyak anak bangsa. Momentum-momentum yang saya maksud adalah: persatuan , yaitu kesadaran bahwa kita merupakan satu bangsa. Kita memiliki momentum Sumpah Pemuda yang juga akan segera kita peringati hari jadinya yang ke 80 pada tahun ini.
Kemudian diikuti dengan momentum kemerdekaan, yaitu saat kemerdekaan politik diproklamasikan dan tujuan berbangsa dideklarasikan, sebagaimana itu bisa kita lihat dalam teks proklamasi dan penyusunan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Lantas pada 20 tahun pertama setelah kemerdekaan, bangsa kita benar-benar ditempa, digenjot dan banyak diharu-biru oleh pertentangan politik dan ideologi yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Konflik itu pada akhirnya memuncak pada Peristiwa tergulingnya Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, setelah sebelumnya didahului terbunuhnya sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat di Lubang Buaya serta terbunuhnya sekitar satu juta anak bangsa dari elemen sayap kiri (Komunis maupun Nasionalis), yang lukanya masih belum kunjung disembuhkan sampai hari ini.
Namun, bukan berarti periode 20 tahun pertama usia kemerdekaan kita sepenuhnya cerita muram. Inilah alasan saya bersuka-cita dan tetap optimis. Setidaknya pada tahun 1955, kita menjadi bangsa yang membuktikan diri mampu menyelenggarakan Pemilu yang paling demokratis dengan para partisan yang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang tinggi. Mungkin saja ini akibat dari semangat revolusi kemerdekaan yang masih berkobar-kobar saat itu.
Pada 20 tahun pertama itu juga, Indonesia berhasil mengokohkan diri sebagai pemimpin terdepan dan beroleh hormat dari negeri-negeri Asia-Afrika dan dunia ke tiga pada umumnya. Sikap hormat tersebut karena peran sentral dan memimpin yang dimainkan Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika dan pendirian Gerakan Non Blok.
Bahkan pada periode ini pula Angkatan Bersenjata kita merupakan salah satu yang terkuat di belahan bumi selatan. Bangsa ini benar-benar memiliki riwayat dan kemampuan untuk menjadi pemimpin dunia.
Kemudian pada akhirnya, pada tahun 1998 kita menapaki momentum demokrasi.
Keseluruhan proses tersebut, yaitu: persatuan, kemerdekaan, dan demokrasi merupakan stasiun-stasiun pemberhentian (sekaligus keberangkatan baru) yang berhasil kita datangi dengan tetap dalam batas-batas negara-bangsa. Sekeras apapun konflik politik yang terjadi, tidaklah menggiring kita pada proses balkanisasi, yaitu proses penuh konflik akibat munculnya nasionalisme etnis atau keagamaan yang meruntuhkan negara-bangsa Indonesia.
Menurut saya, ketiga pencapaian di atas belumlah cukup karena kita masih perlu meraih pencapaian berikutnya: kedaulatan. Kedaulatan inilah yang merupakan sebuah ungkapan hak kita menentukan nasib sendiri berdasarkan kepentingan-kepentingan nasional kita yang tidak bertentangan nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Ini sudah sangat jelas diungkap dalam Mukadimah UUD 1945 yang menyuruh kita untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, bukan berdasarkan Pax Britanica (ketertiban berdasarkan hegemoni Inggris) sebagaimana era kolonialisme klasik, ataupun Pax Americana ( ketertiban berdasarkan hegemoni Amerika Serikat) sebagaimana era akhir Abad ke 20 atau awal Abad ke 21 ini.
Saya mempercayai bahwa tenaga pendorong yang memungkinkan kita pernah menjadi bangsa pelopor di masa lampau adalah karena nasionalisme yang menjadi tenaga penggeraknya adalah nasionalisme yang berbasis kerakyatan. Inilah nasionalisme yang akan menghantarkan kita pada kedaulatan itu. Di lain pihak, saya juga percaya bahwa kita akan merosot menjadi bangsa pariah dan berserakan dalam pentas dunia, jika kita mengkhianati nasionalisme kerakyatan ini. Atas thesis saya tersebut, berikut adalah alasan saya.
Nasionalisme Kerakyatan
Di era globalisasi neoliberal ini, negara-bangsa Indonesia punya wajah dua sisi.
Pada satu sisi, negara-bangsa menjadi panggung (yang sudah ada keretakan di sana-sini), di mana kekuatan-kekuatan ekonomi global mentransmisikan kepentingan-kepentingannya melalui para pembuat kebijakan di level nasional maupun lokal. Sementara di sisi lain, kita berkepentingan agar negara menjadi parit pertahanan terakhir bagi sebuah nation. Ia diperlukan untuk menjaga syarat-syarat minimum eksistensinya dan segala sumber daya alam yang dikandungi tanah airnya.
Di sini kita hanya perlu menengok lagi relevansi gagasan nasionalisme dalam bidang ekonomi sebagaimana dulu digagas Bung Karno. Nasionalisme merupakan gagasan yang kompleks, yang melibatkan jaringan antara berbagai rupa loyalitas. Loyalitas yang dimaksud adalah loyalitas individu sebagai anggota satu masyarakat, yang dibekali hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah kesepakatan timbal balik dengan negara, serta peranan tiap-tiap orang sebagai produsen dan konsumen dalam ranah perekonomian. Ke ketiga ranah inilah, diskusi kita akan menjurus.
Kita mendapati bahwa ada kaitan yang kompleks dan problematik antara negara sebagai satu entitas politik dan bangsa sebagai satu konsep historis dan kultural. Maksud saya begini: jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan satu konsep politik yang hanya dinyatakan dan didokumentasikan melalui teks proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, maka bangsa Indonesia adalah konsep yang sebelumnya dibentuk dari proses budaya, sejarah, ekonomi dan juga politik yang panjang. Ini berupa proses yang jauh lebih rumit dari sekedar perbincangan para pendiri republik (founding parents) pada tahun 1945.
Ringkasnya: Bangsa adalah status yang hanya bisa ada setelah (dialektika) sejarah (masyarakat) dan mesti ada sebelum negara politik berdiri. Dengan begitu, nasionalisme adalah ide yang telah menuntun agar bangsa melahirkan negara dan negara pada gilirannya hendak melindungi serta mensejahterakan segenap elemen bangsa.
Namun begitu, persoalan tidak bisa kita hentikan begitu saja di sini. Pada gilirannya, konsep kebersamaan manusia sebangsa dan kesatuan bangsa dengan negara dalam kawalan nasionalisme lantas juga menuntut berlakunya praktik-praktik demokratis dalam penyelenggaraan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi ini merupakan organisasi bagi kegiatan produksi dan konsumsi kebutuhan barang dan jasa sebagai alas material kehidupan bersama (shared life). Dengan begitu, orang-orang ini hendak diyakinkan bahwa hidup bersama dalam satu negara-bangsa akan menggenapi janji bahagia material dan spiritual. Pada urusan inilah yang Bung Karno sebut dengan Indonesia Merdeka sebagai jembatan emas menuju keadilan sosial dan kemakmuran !
Karenanya, makna berbangsa dan bernegara Indonesia akan mengambil bentuknya yang paling material sekaligus substansial ketika isi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia menjamin keadilan serta kemajuan. Jika urusan-urusan seperti ini sudah bisa jelas, maka urusan-urusan sekitar loyalitas territorial (dalam bentuk integrasi NKRI) hanya merupakan turunan dari fakta bahwa negara memang diadakan untuk melindungi hak-hak dari suku-suku bangsa yang ada dalam wilayah tersebut. Dengan begitu, pengertian yang benar adalah bukan NKRI sebagai final atau garis finish, tapi NKRI lebih merupakan modal awal yang mutlak perlu bagi upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di lain sisi, gagasan tentang loyalitas pada bangsa harus dirancang-bangun untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan negara bangsa Indonesia. Ia terutama harus berurusan dengan berbagai rupa loyalitas yang berkembang dalam masyarakat sekarang. Misalnya loyalitas pada agama, pada sekte agama, pada klan, kedaerahan, kelompok kepentingan berbasis posisi dalam proses produksi (kelas) dan serupa itu.
Satu langkah ke depan dari proses tersebut adalah tegaknya otoritas politik yang demokratis dan berdaulat dari, oleh dan atas bangsa Indonesia. Tentu saja, dengan mempertimbangkan kemajemukan di atas, otoritas inilah yang nantinya dikukuhkan dalam proses ekspansi produksi, perdagangan dan konsumsi. Dalam proses tersebut, aturan main maupun jurisdiksi ekonominya pada akhirnya menjangkau pada tumbuhnya integritas territorial.
Namun apa lacur! Di era globalisasi kapital sekarang, rupanya dengan logika komersial yang sama, secara ironis kapitalisme neoliberal malah cenderung untuk melemahkan konsolidasi kebangsaan. Bisa jadi balkanisasi akan berlanjut dengan pemecahbelahan bangsa secara fisik dan cita-cita, yang pada masa kolonialisme lama malah telah dibantu konsolidasinya. Lihatlah! Sama-sama anak kandung dari kapitalisme, selisih antara kolonialisme klasik dengan neoliberalisme serupa langit dan bumi. Yang lama atau klasik membantu mengumpulkan identitas yang berserak menjadi satu bangsa, sementara yang baru atau neo (yang nekolim, begitu kata Bung Karno) malah melucutinya !
Hanya melalui pemahaman atas ekspansi yang terus menerus dari kapitalisme melalui negara bangsa inilah, maka kita akan digiring pada versi khusus nasionalisme. Versi ini memiliki watak ekonomi yang dominan, berupa nasionalisme ekonomi. Akan tetapi, nasionalisme ekonomi ini mesti menancap berakar pada konteks historis dan kultural yang khas. Puncak kekuatan nasionalisme ekonomi ini malah bukan terletak pada pertentangannya dengan norma-norma sosial dan kultural namun pada kemampuan untuk memadukannya guna memperkuat masyarakat Indonesia modern.
Pada gilirannya, nasionalisme ekonomi ini condong memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang saling mengkait;
1) karena negara bangsa bergantung pada kekuatan-kekuatan pasar dalam hubungannya dengan perdagangan internasional, investasi dan keuangan, maka secara alamiah ia condong beradaptasi dan menyatukan kekuatan-kekuatan pasar eksternal untuk melayani kepentingan-kepentingan nasionalnya, dan;
2) negara bangsa, khususnya jika ia merupakan pemain ekonomi internasional yang lemah, punya kecondongan kian bergantung pada pasar internal ketimbang pada pasar eksternal. Dua pilihan tersebut adalah cerminan bentuk pilihan yang sistematis dalam menghadapi globalisasi. Namun begitu, pilihan tersebut mensyaratkan adanya koalisi kepentingan aktor-aktor politik dan ekonomi di dalam negeri.
Strategi Makro: Koalisi Kepentingan Nasional
Saya menandai bahwa pilihan-pilihan kebijakan itulah teramat ditentukan oleh koalisi kepentingan dari para pembuat kebijakan.
Baik itu kebijakan yang menyangkut penjualan asset-asset negara ke tangan asing, kebijakan upah buruh murah dan serupa itu di satu pihak, maupun kebijakan nasionaliasi pertambangan, reforma agraria dan sejenisnya di pihak yang berlawanan.
Sebagai misal, ketika Evo Morales di Bolivia atau Hugo Chavez di Venezuela melakukan nasionalisasi atas asset migas mereka atau ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mempertahankan kontrak karya Freeport, mereka ini melakukannya tidak di ruang hampa tubuh faal bangsa mereka masing-masing.
Sebagai contoh: koalisi berdasar gagasan indigenismo di Bolivia memancarkan satu pembelaan terhadap mayoritas bumiputra Indian yang sudah selama sekitar 500 tahun tak memiliki akses atas sumber daya alam mereka. Bersama orang-orang inilah, Evo Morales menggalang koalisi kepentingan bangsa bagi program-program nasionalisasi maupun juga program revolusi lahan-nya. Tentu saja dalam kasus lain, kontrak karya Freeport yang terus dipertahankan bertolak dari kepentingan jenis lain. Yang pastinya tidak bertolak dari amanat penderitaan suku-suku pribumi Papua atau Indonesia pada umumnya.
Dalam menghadapi proses tersebut, soal kelembagaan politik, agama, budaya serta dunia pendidikan memberikan respon masing-masing. Respon yang diberikan bisa progresif dan bisa juga konservatif dalam menghadapi revolusi perubahan posisi dan orientasi watak negara.
Memang tawaran alternatif atas proses reorientasi negara yang kian masuk dalam dunia yang mengglobal bisa berupa-rupa. Ada yang menawarkan pendekatan theokratis, pendekatan sosialistis, populisme nasionalis atau berusaha meredam globalisme neoliberal dengan tetap mempertahankan pendekatan kapitalisme yang berwajah kemanusiaan.
Semuanya memunculkan harapan dan visinya masing-masing. Manajemen atas harapan rakyat inilah, yang kemudian merupakan perkara pokok yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan (eksekutif) atau para calon pengambil kebijakan yang saling bersaing satu sama lain (para politisi).
Dengan begitu, pikiran-pikiran yang mesti digelar saat ini adalah mencari titik perjumpaan untuk memberi dua jenis rekomendasi ini:
Rekomendasi kebijakan, sesuatu yang feasible secara teknis sekaligus politis untuk dieksekusi oleh para pengambil kebijakan; dan yang ke dua adalah rekomendasi perjuangan, yakni rekomendasi yang feasible jika pola kekuasaan politiknya diubah terlebih dulu atau telah memenuhi syarat.
Kapitalisme Indonesia?
Sejarah pada akhirnya adalah hakim dan penentu yang adil. Jika sejarah gagal menampakkan keadilannya pada generasi tua, ia akan muncul pada wajah angkatan mudanya. Untuk itu semua, sekarang saya layak optimis karena setidaknya pada tanggal 28 Oktober 2007, sekelompok anak muda telah menandatangani Ikrar Kaum Muda, di mana saya juga berpartisipasi di dalamnya. Ikrar tersebut jelas mengkritik sistem ekonomi yang bertumpu pada rumus sederhana: kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain (Teks Ikrar), yang menyebabkan kekayaan alam habis dikuras meninggalkan kehancuran lingkungan yang tidak terbayar. Manusia Indonesia seperti dihantui kutuk sejarah: menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.Ikrar tersebut tidak menamai sistem ekonomi yang berlaku sekarang di Indonesia, namun orang mengenalinya sebagai sistem neoliberal.
Ini sebuah sistem yang menurut the United Nations’ Human Development Report 2000, menyebabkan 1 persen orang yang terkaya di dunia memperoleh income sebanyak 57 persen orang yang termiskin di dunia dijadikan satu, di mana bahkan diperkirakan pada tahun 2015 jurang kekayaan 20 persen orang yang terkaya di dunia dengan 20 persen yang termiskin di dunia diproyeksikan 100 berbanding 1. Akan tetapi sebagai alternatifnya Ikrar juga tidak bermaksud menggantinya dengan sistem yang bermaksud memberikan wajah kemanusiaan pada kapitalisme atau yang menurut sebuah artikel di Kompas yang bertajuk “Ekonomi Pasar Sosial”, dibangun di atas keutamaan ekonomi pasar yang kompetitif, saat inisiatif bebas setiap orang di bidang ekonomi yang dipilihnya secara bebas dijamin meskipun pada saat bersamaan menciptakan sistem perlindungan sosial untuk lapisan yang secara ekonomi lemah seperti melalui BLT (Bantuan LangsungTunai) (KOMPAS/21/11/2007).
Dalam hai ini Ikrar justru mengusulkan diterapkannya sistem yang bisa (dengan mengutip Mukadimah UUD 45) memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebuah sistem yang tidak berlandas nafsu manusia menjadi serigala atas yang lain atau sistem yang menyisakan belas kasihan, melainkan sebuah sistem kerja dan sistem fikir kolektif bangsa untuk hidup adil dan makmur.
Memajukan kesejahteraan umum bukan gagasan yang terutama tertumpu pada semangat persaingan individualistis, melainkan solidaritas dan gotong royong di mana mekanisme lembaga negara dan non-negara kolektif (seperti koperasi) tidak bisa dipinggirkan dalam mewujudkan cita-cita tadi. Sehingga prinsip neoliberal di mana kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain tidaklah lantas hendak diganti oleh kredo kapitalisme humanis (ekonomi pasar sosial) yang kira-kira akan berbunyi “kekayaan segelintir orang
yang tangguh bersaing dalam mekanisme pasar untuk menguasai sebagian besar sumber daya, akan memungkinkannya menyisakan derma bagi sebagian kecil saja dari yang sengsara dan lemah”. Dunia tidak pernah diperbaiki oleh orang-orang yang berniat baik hanya di waktu senggang. Negara ini didirikan bukan untuk pesta segelintir orang, entah itu yang menyisakan sisa-sisa makanan mereka (ataupun yang tidak) untuk para pengemis di luar tempat pesta.
Stasiun Tujuan
Lantas ke stasiun mana kereta yang ditumpangi kaum muda nasionalis, patriotik, progresif dan kerakyatan seharusnya terarah menjelang Kebangkitan Nasional ke-2 dalam 100 tahun ke depan? Dalam amanatnya mengenai strategi pembangunan, Bung Karno mempromosikan pembangunan yang meninggikan daya beli rakyat, dengan pembangunan pertanian sebagai landasan bagi pembangunan industri yang memproduksi barang modal (industri baja untuk melepaskan ketergantungan bahan pokok industri rekayasa). Agar pertanian bisa produktif, maka perlu diciptakan situasi kegairahan bekerja bagi kaum tani (mayoritas rakyat) dengan cara:
1.menentukan batas pemilikan tanah, sehingga tak ada yang terlalu miskin
kekurangan tanah atau terlalu luas menguasai tanah, ;
2. melindungi buruh tani dalam sistem pengupahan, serta ;
3. kredit untuk kaum tani.
Sasarannya adalah mencukupkan pasokan bahan makanan pokok untuk kota dan industri, serta diikuti dengan meninggikan ekspor pertanian untuk membeli barang-barang modal. Bagaimana dengan usaha swasta? Peran penting mereka didorong bagi penciptaan lapangan kerja yang massif, sementara industri nasional strategis yang dikuasai negara dipacu. Industri inilah yang akan memodernisir teknologi dan proses kerja sebagai konstribusi bagi pencapaian kedaulatan bangsa atas teknologi, guna mempersiapkan Indonesia sebagai the international strategic player yang maju, adil sekaligus berkarakter.
Stasiun itu bukannya tak bernama, karena alamat-nya sudah ditunjukkan dengan jelas dalam Mukadimah UUD 45. Oleh Bung Karno (proklamator kemerdekaan dan penggali Pancasila), stasiun tujuan dinamai “Sosialisme Indonesia” yang berdasarkan Pancasila (Soekarno, 28/8/1959).
Budiman SudjatmikoKetua Umum REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi) – PDI Perjuangan
Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS - Rabu, 21 November 2007

Mengenal "Siapa Dia" Lebih Penting dari Sekadar Memilih


Beli kucing dalam karung. Siapa yang tidak hafal pepatah itu. Sebuah petuah tua yang tak lekang oleh zaman. Yang perwujudannya dapat hinggap di mana saja oleh siapapun, adalah petikan pelajaran kehati-hatian dengan sesuatu hal yang belum kita ketahui tentang bagaimana wujud sebenarnya. Aksentuasi ini juga yang rasanya paling pas dalam konteks demam pesta demokrasi tahun depan.

Mengenal calon pemimpin (presiden, gubernur, walikota, atau bupati), maupun wakil rakyat (DPD, DPR, DPRD provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota), menjadi 'keharusan' bagi setiap warga negara yang sudah mempunyai hak untuk memilih.

Mengapa? Karena keberlangsungan negara ini, secara formal, baik secara nasional, kewilayahan maupun setingkat kota atau kabupaten, hanya dipimpin oleh mereka yang memegang jabatan sebagai Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota.

Demikian juga, setiap warga negara hanya akan terwakili hak politik dan aspirasinya melalui wakil-wakilnya yang duduk sebagai anggota parlemen (DPD, DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota).

Kedua hal di atas, menjelaskan dengan pasti mekanisme keterwakilan setiap warga negara, dan posisi setiap warga negara dalam sistem pemerintahan yang demokratis.

Pesta Demokrasi 2014 Diawali Pemilihan Calon Anggota Legislatif

Sebagai warga negara kita harus peduli untuk; pertama: Dengan penuh kesadaran memberikan hak pilih/suara disetiap hajatan (pesta) demokrasi itu. baik di saat Pileg, Pilpres, termasuk pilkada. Kedua: menggunakan hak pilih kita dengan mengenal lebih dalam calon pemimpin atau calon wakil rakyat pilihan kita.

Mengapa? Karena, di tangan merekalah kita menyerahkan keterwakilan kita dalam pengelolaan negara dan pemerintahan. Termasuk setiap sumberdaya (keuangan) yang digunakan untuk penyelenggaraan pembangunan. Baik itu pekerjaan fisik maupun program-program pembangunan yang menyentuh langsung ke masyarakat.

Lantas apa jadinya, jika kita salah memilih wakil rakyat? Jawabannya tentu saja seperti yang biasa jadi berita di televisi, koran, radio atau media massa lainnya. Bentuknya bisa korupsi, penyalahgunaan wewenang, kongkalingkong, hingga ada yang tidak mengerti tugasnya sebagai wakil rakyat.

Karenanya penting untuk kita –suka atau tidak suka, untuk mengenali lebih dekat profil orang yang bakal jadi wakil kita, baik untuk pusat maupun daerah. Agar hak politik kita dapat diperjuangkan dan diwakili sepenuhnya secara sadar dan benar oleh mereka.

Kenali Latar Belakang Pribadinya

Untuk mengenal siapa calon wakil kita yang akan duduk di parlemen, yang pertama tentu wajib kita kenali betul pribadinya. Siapa dan bagaimana keluarganya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, karir atau pekerjaan, dan pengalamannya berorganisasi.

Dengan mengenal latar belakang pribadi calon pemimpin atau wakil rakyat, kita kemudian akan memahami sisi dalam mereka secara lebih personal, lebih dekat. Sehingga bisa saja ada semacam relasi yang seirisan secara emosional, misalnya kekerabatan, kekeluargaan, kesamaan profesi, kemampuan dasar (kompentensi) profesional si calon, hingga pada akhirnya kita dapat mengukur kadar integritasnya. Bahkan pemilih bisa melakukan cross check yang terkait pribadi si calon sebagai uji shahih.

Ingat! integritas (kejujuran) melalui keterbukaan informasi calon pemimpin secara personal jarang diketahui masyarakat, padahal inilah akar keterkaitan calon dengan masyarakatnya (pemilih). Hal ini akan membuat mereka (calon) lebih bertanggung jawab atas latar belakang pribadinya. Dan hal itu juga yang kemudian menjadi pijakan kita untuk memberikan kepercayaan (trust), bahwa sang calon benar-benar dapat kita percaya sebagai wakil kita yang sesungguhnya.

Latar belakang pribadi biasanya dapat lebih bisa menjadi ukuran yang pasti ketimbang bentuk-bentuk pencitraan yang dilakukan calon dengan menebar atribut kampanye dengan berbagai pose diri dan kalimat-kalimat janji yang sudah dipoles sana-sini. Di sini pula sesungguhnya banyak calon wakil rakyat diuji untuk berani membuka latar pribadinya sebagai pertaruhan nama baiknya kelak.

Demikian pula dengan pemilih, mereka akan lebih merasa dihargai ketika berjalin komunikasi baik secara politik maupun perasaan pribadinya. Terlebih di era Indonesia yang selera masyarakatnya sangat melodramatik, terkadang pencitraan atau isu mengaburkan pemilih dalam mengenal siapa sosok sebenarnya calon wakil mereka secara objektif.

Kenali Rekam Jejaknya di Masyarakat

Menjadi wakil rakyat, pemahamannya juga dapat berarti memegang kewenangan-kewenangan “sakti” atas nama rakyat. Dengan fungsi seperti dua mata pisau. Di mana kewenangan tersebut bisa digunakan sepenuhnya untuk menyuarakan suara dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Sisi lain bisa pula kemudian menjual “atas nama rakyat” untuk kepentingan tertentu. Apalagi kewenangan-kewenangan itu juga terkait erat dengan penggunaan kekayaan dan keuangan negara yang notabene hasil keringat rakyat.

Bukan rahasia lagi bahwa magnet politik kekuasaan membuat orang begitu tertarik ingin mendudukinya. Dengan tujuan sebagaimana kepentingan pribadinya, termasuk hasrat ingin dikenal, disegani, hingga memperkaya diri sendiri. Untuk urusan ini pasti semua sepertinya bersepakat untuk tidak memilih calon wakil rakyat macam itu.

Karena ‘kekuasaan’ wakil rakyat seperti itulah, maka mengetahui rekam jejak (track record) si calon dalam kiprahnya di masyarakat menjadi penting. Walaupun umumnya rekam jejak ini akan dengan sendirinya mengalir lancar di masyarakat manakala orang tersebut berlaku baik dan punya karya nyata di masyarakatnya. Lantas bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada orang dari negeri “atas berantah” bisa mengerti dan mewakili masyarakatnya, apalagi rekam jejaknya tidak diketahui oleh pemilihnya. Barangkali waktu akan menyadarkan masyarakat pemilih untuk aktif mencari tau sebelum mereka memutuskan memberikan pilihan kepada salah satu calon wakilnya.

Rekam jejak calon wakil rakyat setidaknya dapat menjadi patokan bagaimana si calon berperilaku sosial di tengah-tengah masyarakatnya. Jika baik dia, besar kemungkinan akan timbul reaksi positif, dan sebaliknya jika buruk peranannya di masyarakat maka akan buruk juga tanggapannya dari masyarakat. Hal ini umumnya dibuktikan masyarakat dengan keikutsertaan si calon dalam organisasi-organisasi sosial di masyarakat, perannya sebagai tokoh maupun posisinya sebagai panutan orang banyak.

Mengetahui Tugas dan Fungsinya sebagai Anggota Dewan

Yang paling pokok sebagai wakil rakyat di parlemen adalah setiap Anggota Dewan memahami dan mengerti tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Faktanya mereka lebih mempopulerkan diri dengan menjual visi-misi yang mengawang-awang, ingin memperjuangkan ini dan itu, jika pun terpilih bagaimana cara mewujudkan janjinya banyak yang tidak paham. Akhirnya sama saja bukan, fenomena bolos sidang, interupsi ngawur, sampai tidak memiliki konsep apapun ketika berhadapan dengan fungsinya sebagai legislator menyebabkan aspirasi rakyat tak pernah diperjuangkan.

Idealnya, setiap calon wakil rakyat memahami betul kompetensi pribadinya dan pada bidang apa dia akan berjuang bagi masyrakatnya saat menjadi anggota dewan. Strategi perjuangan itulah yang kemudian harusnya disosialisasikan kepada masyarakat dan masyarakat pun tau apa yang akan dilakukan orang yang akan dipilihnya jika dia terpilih sebagai anggota dewan. Itu lebih pasti ketimbang janji-janji yang ada di alam mimpi.

Perlu diluruskan, memilih wakil rakyat untuk jadi anggota tidak sama dengan memilih (misal) pemimpin daerah. Karena hak dan kewenangan anggota dewan berbeda dengan pemimpin (eksekutif). Anggota dewan dapat dikatakan maksimal mengerjakan tugas-tugasnya sebagai dengan ukuran-ukuran seperti; mampu memberikan terobosan produk-produk hukum berupa UU atau Perda yang memihak kemaslahatan masyakarat. Kemudian dapat melakukan fungsi kontrol kepada eksekutif terhadap program-program pembangunan yang akan, sedang, atau sudah dilakukan. Mewakili aspirasi rakyat untuk disalurkan kepada saluran-saluran yang sesuai, baik dipemerintahan maupun kepada pihak lainnya.

Mematahkan Sekat Calon dan Asal Partainya

Semua partai sama kotornya! Boleh jadi sebagian besar masyarakat pemilih punya penilaian itu. Faktanya, rata-rata tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu 3 periode ke belakang masih di atas angka 60%. Artinya masih banyak juga masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Jangan lupa berapapun tingkat partisipasi pemilih, calon wakil rakyat sah atas suara yang diperolehnya.

Mari kita abaikan asumsi kalimat bahwa ‘semua partai sama kotornya’. Yang pasti KPU telah memulai melakukan tahapan pemilu legislatif 2014 dan saat ini sudah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) ke publik. Pertanyaannya apakah nama-nama calon baik untuk DPD, DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota yang ada sudah dikenal? Atau sudahkah masyarakat mengenal calon-calon tersebut lebih dekat? Lantas masih adakah calon yang saat ini sudah membuka diri memperkenalkan diri sehingga masyarakat tau sosok mereka yang sebenar-benarnya?

Jika saja skenario setiap calon anggota parlemen kita disetiap tingkatan mempunyai kesadaran untuk membuka diri secara transparan, tantangan bagi masyarakat pemilih adalah melakukan dengan benar penilaian secara objektif. Sehingga benar-benar akan menghasilkan calon wakil rakyat yang bermutu. Jika sudah seperti itu bisa jadi orang tidak lagi akan melihat Siapa dicalonkan oleh Partai apa. Melainkan; saya memilih Dia karena paham betul bagaimana orangnya, dan percaya Dia bisa memegang amanat rakyat yang diwakilinya.

Demokrasi menjamin tiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih. Hal ini mendorong kompetisi perebutan kekuasaan menjadi mutlak sebagai proses demokrasi. Dan tidak disangsikan lagi bahwasanya fenomena politik uang masih mewarnai praktik kita dalam berdemokrasi (pemilu).

Dalam posisi itu sesungguhnya hanya kekuatan moral dan mata hati rakyat yang bisa menentukan siapa calon terbaik menurut mereka. Itupun berlaku sepanjang rakyat sadar bahwa mereka mengenal betul calonnya dan tidak mau terbeli dengan politik uang. Hal ini penting setidaknya sebagai tanggungjawab bagi kaum yang Beriman, sehingga memiliki wakil rakyat yang jujur yang tidak akan melakukan apa yang populer dengan istilah KKN.

Dede Kurniawan
Penulis adalah Mantan Aktivis IMM
- See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/09/06/58/861641/mengenal-siapa-dia-lebih-penting-dari-sekadar-memilih#sthash.rwxwZNzX.dpuf