" | |||
|
Pidato Ketua Umum
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam damai sejahtera untuk kita semua,
Marilah kita terlebih dahulu memekikkan salam perjuangan dan salam pergerakan kita:
Merdeka!! Merdeka!! Merdeka!!
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga pada hari ini kita kembali berkumpul dalam forum Rakernas Partai. Rakernas III ini, bukan saja untuk menyisiri kembali perjalanan Partai dan bangsa setahun terakhir sejak Rakernas II di Surabaya. Tetapi lebih lagi untuk memetik pelajaran darinya, dan menjadi bahan renungan, refleksi, dan bahan kontempelasi dalam menyusun jawaban-jawaban politik PDI Perjuangan guna menyongsong tahun 2014 sebagai tahun penentuan masa depan kita sebagai bangsa.
Saudara-saudara,
Kita boleh berbahagia karena bisa mencapai usia 68 tahun sebagai negara merdeka. Kita boleh berbahagia karena bisa mengucapkan dengan lantang “dirgahayulah Indonesia”. Kita berbahagia karena masih bisa memekikkan kata “merdeka” dengan penuh keyakinan dan kebanggaan.Namun, dalam kontemplasi di usia yang ke 68 tahun bangsa ini, kebanggaan di atas kini kehilangan daya persuasi untuk membangun optimisme. Kita dihadapkan pada realita semakin merosotnya kedaulatan diri bangsa. Dalam bidang ekonomi, hal ini disimbolkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah dan anjloknya neraca perdagangan kita. Sedemikian kronisnya krisis yang ada, sehingga tidak tersedia ruang lagi bagi bangsa ini untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan secara berdikari bagi rakyatnya.
Konsepsi “berdiri di atas kaki sendiri” di bidang ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Bahkan, “Tempe”, yang di abad lalu dipakai Bung Karno dalam karya-karyanya sebagai metafora -- bangsa tempe, mental tempe -- untuk menggambarkan rendahnya kualitas sebuah bangsa, kini bersama-sama dengan “tahu” menjadi potret ketidak-berdayaan sebagai bangsa merdeka. Hal yang lebih mengejutkan adalah kebijakan terbaru pemerintah yang untuk kesekian kalinya mencoba meredam kenaikan harga kedelai. Mengapa pilihan yang diambil hanya berfokus pada upaya menghilangkan seluruh hambatan impor, dan bukannya berikhtiar meningkatkan daya produksi petani? Hal ini menimbulkan pertanyaan, kepada siapa sebenarnya mereka berpihak?
Saudara-saudara warga bangsa yang saya cintai,
Sebagai pemimpin politik saya berharap, agar krisis ini segera ditemukan jalan keluarnya. Saya berharap kondisi ekonomi segera pulih. Karena krisis yang ada punya implikasi berantai, mejemuk dan kompleks. Ia muncul sebagai bentuk hilangnya kemandirian bangsa, yang kemudian meluas pada spektrum kemiskinan. Kemiskinan tidak lagi bersifat material semata, tetapi masuk menimpa dasar-dasar moral, etik dan karakter kita sebagai bangsa. Dalam rangka kontemplasi ini, saya teringat bagaimana Bung Karno membayangkan posisi fundamental dari kemerdekaan bagi sebuah bangsa, yang digambarkan sebagai “jembatan emas”. Tetapi Bung Karno tidak berhenti di situ. Beliau mengingatkan bahwa kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, namun memberi jalan untuk menyelesaikan soal-soal.
Itulah sebabnya mengapa nation and character building menjadi konsep kunci dalam pemikiran beliau yang mutlak diperlukan oleh Indonesia. Kedua konsep kunci ini merupakan metode pembangunan dan pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara yang menjadi prasyarat bagi Indonesia untuk memiliki jatidiri di tengah pergaulan internasional. Pada usia yang ke 68 tahun ini, kita perlu bertanya seberapa jauh nation and character building telah kita jalankan. Seberapa jauh jiwa bangsa dan rakyat ini telah dibangun dan digembleng sebagai jiwa orang-orang merdeka. Hal ini penting, agar kita menemukan kembali jalan keluar atas krisis yang terjadi. Hanya saja saudara-saudara, pada saat yang bersamaan, saya tidak bisa menyembunyikan kecemasan saya. Apakah yang akan terjadi sekiranya nilai rupiah terus merosot menembus angka 12 ribu per dollar, bahkan bisa jauh di atasnya? Hal ini terutama jika faktor global, yakni rencana penyerangan koalisi Barat di bawah Amerika Serikat ke Suriah benar-benar terjadi. Pengalaman yang ditunjukkan oleh perang yang terjadi, selalu membawa akibat-akibat kemanusiaan dan ekonomi yang sangat luas. Inilah yang harus benar-benar kita antisipasi.
Saudara-saudara,
Krisis yang kita hadapi tidak berakhir di ranah ekonomi semata. Di lahan sosial, krisis sebagaimana disimbolkan oleh seriusnya sengketa sektarian dan intoleransi, semakin menambah beban di pundak bangsa ini. Kita juga semakin sering mendengar suara tangis para korban kekerasan otot-otot sektarian dari berbagai sudut negeri.
Apakah ini bisa menjadi gambaran, seberapa dalam Pancasila telah dihayati dan diimplementasikan secara membumi di republik yang kita cintai ini. Jawabannya berada di tangan seluruh rakyat Indonesia sendiri. Atas berbagai kondisi di atas, saya menegaskan bahwa tantangan yang akan diwarisi tahun 2014 sebagai tahun penentuan tidaklah ringan. Skala tantangan sedemikian luar biasanya sehingga akan menentukan apakah sebagai bangsa kita akan terus terjerat dalam lingkaran persoalan transisional yang sudah berjalan hampir 15 tahun lamanya. Atau sebaliknya, kita akan mampu meletakan fondasi bagi dimulainya sebuah tatanan politik yang mendekatkan diri pada imajinasi ideal para pendiri bangsa. Hanya saja, kerasnya tantangan bukan alasan bagi kita untuk berkeluh-kesah. Bukan pula alasan untuk menghakimi pihak lain. Sebaliknya harus diterima sebagai panggilan sejarah PDI Perjuangan sebagai kekuatan politik. Dengannya, kita punya alasan moral dan ideologis yang kokoh untuk bisa berpikir lebih cerdas dan bekerja lebih keras lagi untuk menemukan jalan keluar bagi bangsa ini. Harapan ini saya serukan karena sejarah membuktikan bahwa kita memiliki kekuatan untuk bisa melewati ujian sejarah yang maha berat sekalipun. Saya juga ingin tegaskan, bahwa bagi PDI Perjuangan tidak ada yang namanya langkah mundur. Tapi kita harus maju. Sebab ideologi kita adalah ideologi yang progresif revolusioner.
Saudara-saudara,
Optimisme terus saya kobarkan, bukan karena tantangan yang kita hadapi dapat diurai dengan mudah. Optimisme yang saya bangun karena keyakinan bahwa kita memiliki rujukan ideologis bersama, yakni Pancasila yang selalu hadir sebagai jalan keluar bagi bangsa. Pancasila selalu menjadi suluh dalam kegelapan; menjadi leitstar dan kompas di kala kita kehilangan arah; menjadi fondasi ketika tulang-belulang bangsa ini merapuh.
Saya tegaskan bahwa Pancasila harus dilihat sebagai hasil peradaban yang akan tetap memiliki nilai-nilai hakiki karena digali dari bumi Indonesia sendiri. Ia menjadi bingkai pengatur perilaku individu, kelompok, lembaga dan kebijakan ketika kita berada dalam pilihan-pilihan moral dan etis yang serba dilematis. Itulah sumber optimisme dan harapan saya. Itulah sumber optimisme dan harapan PDI Perjuangan.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Kita paham bahwa optimisme dan harapan adalah separuh jawaban untuk memasuki tahun 2014 sebagai tahun penentuan. Separuh lainnya terletak pada kemampuan kita menghasilkan kepemimpinan, kelembagaan dan kebijakan yang bukan saja diterima publik. Tetapi juga mampu menjawab serangkaian warisan krisis yang kita hadapi, dan menjawab spektrum tantangan baru abad 21.
Dalam kaitannya dengan kepemimpinan nasional, sebagai Ketua Umum Partai saya mendengar dengan sungguh-sungguh suara-suara yang disampaikan dengan berbisik-bisik maupun dengan lantang oleh rakyat kebanyakan, warga partai dan bahkan sejumlah tokoh. Saya dan PDI Perjuangan berterimakasih untuk itu. Keresahan saudara-saudara atas miskinnya calon kepemimpinan nasional adalah juga keresahan saya bertahun-tahun. Tetapi saya dan PDI Perjuangan tidak sekadar resah. Kami tidak sekadar berkeluh kesah. Sejak lebih dari 10 tahun lalu, secara sengaja dan bertahap PDI Perjuangan menyiapkan generasi baru kepemimpinan nasional. Kami boleh berbangga karena kerja keras dan konsistensi kami mulai membuahkan hasil. Dari rahim cinta-kasih PDI Perjuangan, kini banyak lahir deretan pemimpin muda potensial, seperti Jokowi.
Saya berkeyakinan di tangan mereka kelak kita akan mengalami Indonesia yang lebih baik. PDI Perjuangan tidak akan pernah berhenti menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Mereka harus terus digembleng dan menghadapi ujian sejarah. Sebab tidaklah ringan tantangan yang akan mereka hadapi. Tetapi kami belajar dari masa lalu. Kami belajar dari sejarah dan pelajaran terpenting pertama adalah bahwa Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang mampu memenuhi panggilan sejarah dan memiliki kapasitas dalam menjawab tantangan bangsa. Pelajaran sejarah kedua adalah bahwa kita tidak ingin terjerembab ke dalam wishful thinking, seakan-akan persoalan ini sudah selesai. PDI Perjuangan sadar-sesadarnya bahwa untuk bisa memunculkan seorang calon presiden, kami harus mampu memenuhi syarat-syarat konstitusional seperti pemenuhan presidensial threshold. Tidak akan pernah ada calon presiden PDI Perjuangan kecuali kami bisa mengamankan 20% kursi atau 25% suara di DPR RI. Inilah prioritas kami saat sekarang.
Demikian halnya, upaya membangun tatanan politik baru tidak hanya membutuhkan kepemimpinan sebagaimana digambarkan di atas. Transformasi kelembagaan politik menjadi syarat lain yang sangat diperlukan. Kita sudah menyaksikan bagaimana banyak pemimpin potensial mengalami kemandulan serta kehilangan inisiatif dan imajinasi, karena terbelenggu oleh tata-kelembagaan lama yang konservatif dan anti kemajuan. Pelajaran ketiga yang kami petik dari sejarah adalah bahwa usaha membangun tatanan politik baru membutuhkan adanya tuntunan kebijakan yang jelas.
Hal-hal di ataslah yang sedang disiapkan oleh PDI Perjuangan. Kami sedang mempersiapkan diri bukan saja untuk siap mendapatkan kepercayaan rakyat di tahun 2014, tetapi juga siap untuk memerintah. Inilah pelajaran keempat yang kami petik dari masa lalu.
Saudara-saudara,
Untuk bisa mewujudkan langkah-langkah di atas, PDI Perjuangan, bahkan bangsa ini, tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke hakekat dasar kehidupan berpolitik. Belajar dari para pendiri bangsa, kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa inti dasar politik adalah rakyat. Sejarah banyak bangsa dan bangsa sendiri membuktikan bahwa dalam konsepsi inilah politik menemukan makna dan relevansi yang sesungguhnya. Hanya dalam konsepsi ini politik menemukan romantika dan dinamikanya.
Karenanya, pahamilah bahasa rakyat, karena itulah bahasa politik yang sejati. Pahami dan resapilah setiap denyut kehidupan rakyat karena itulah kehidupan politik yang sejati. Jangan berkata untuk rakyat tapi hatimu mengkhianatinya, perbuatanmu menyakitinya, dan kakimu menginjaknya. Pahamilah bahwa rakyat bukan slogan, bukan komoditas, bukan obyek kekuasaan. Rakyat adalah pemegang kedaulatan, sumber moral dan legitimasi dari semua tindakan politik. Dengan demikian, berpolitik adalah akibat dari kehendak kuat untuk menterjemahkan harapan rakyat sebagai satu kesatuan kehendak, bukan untuk memenuhi nafsu kelompok, apalagi nafsu orang per-orang. Inilah saudara-saudara nilai etis yang menjadi hakekat dasar politik yang tampak begitu sederhana dan mudah untuk dibicarakan, tapi begitu kompleks dan sulit untuk dijalankan. Kesanalah saya mengundang para pemimpin negeri ini melangkah.
Saudara-saudara,
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah surat kabar. Saya membaca dan terhenyak, lalu saya tersenyum, karena dalam ulasannya menyatakan saya ini lebih baik sebagai Ibu Bangsa. Secara pribadi saya tersanjung, dan berterima kasih untuk itu. Tetapi rasanya penghormatan tersebut terlampau dini ditaruh di pundak saya. Karena status semulia itu, rasanya lebih pantas disematkan pada Proklamator kita Bung Karno.
Saya mengajak kita bersama untuk merenung sejenak, bagaimana nasib Bung Karno. Perjuangan beliau melekat dalam setiap jejak langkah Indonesia Merdeka. Dedikasi beliau yang tak mengenal kata akhir tertoreh dengan tinta emas di lembar sejarah bangsa. Ia bahkan dihormati dan disegani sebagai pemimpin bangsa-bangsa Asia Afrika. Seorang negarawan besar dunia ketiga yang memberikan ilham dan keberanian bagi banyak bangsa terjajah untuk merdeka. Namun tragisnya, hingga kini Bung Karno masih saja ditempatkan dalam ruang abu-abu sejarah bangsa. Mengapa sebagai bangsa kita tidak mencoba kembali secara jernih melihat pemikiran Beliau sebagai Bapak Bangsa, baik alur pemikirannya, romantika, dinamika dan dialektika perjuangannya. Hal ini bukan untuk mengkultus individukan. Tetapi sekadar menyatakan fakta bahwa pemikiran dan tindakan beliau sebagai pemikir pejuang dan pejuang pemikir masih terus relevan untuk menjawab berbagai persoalan bangsa dan negara saat ini. Karenanya, saya yakin sepantasnyalah status sebagai bapak bangsa justru disematkan kepada beliau.
Saudara-saudara,
Mengakhiri pidato saya, ijinkanlah saya sekali lagi menggaris bawahi bahwa tantangan kita sangat luar biasa tapi yakinlah bahwa masa depan yang lebih baik terbentang di hadapan kita. Tetapi ini bukan buah dari lamunan tapi hasil dari cucuran keringat setiap anak negeri. Karenanya, saya minta kepada segenap pemuda-pemudi, kepada semua rakyat Indonesia, kepada semua pemimpin Indonesia, supaya mempunyai dedication of life. Saya sekali lagi mengutip Bung Karno, “Dedicate kita punya hidup ini untuk suatu cita-cita yang tinggi. Dan dedication of life kita yang tertinggi ialah membuat Indonesia gemah ripah loh jinawi, membuat Indonesia satu tanah air yang besar, membuat Indonesia ini satu Negara yang kuat, membuat Indonesia ini satu masyarakat yang adil dan makmur. Dan kita harus dedicate kita punya hidup kepada cita-cita ini”. Inilah yang disampaikan beliau ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa di ITB tahun 1962.
Kepada seluruh peserta Rakernas III ini, saya minta agar saudara-sadara sunggih-sungguh memanfaatkan kesempatan kali ini untuk menemukan jalan terbaik bukan saja bagi kemenangan PDI Perjuangan dalam tahun penentuan 2014, tetapi juga dan yang lebih utama, adalah dalam membantu bangsa ini keluar dari krisis, dan membangun harapan baru.
Terima kasih, Semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu meridhoi perjuangan kita.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Om santi santi santi om
Megawati Soekarnoputri
KETUA UMUM PDI PERJUANGAN
|